Kamis, 15 Juli 2010

Tujuh qira'at & sejarahnya

Tujuh qira'at & sejarahnya
Definisi dari qira'atAdalah jamak dari qira’ah, artinya bacaan. Ia adalah mashdar dari qara’a. Dalam istilah keilmuan, qira’at adalah salah satu madzhab pembacaan Al-Qur’an yang dipakai salah seorang imam qurra (para imam qira’at) sebagai madzhab yang berbeda dengan madzhab lainnya.

Adz-Dzahabi menyebutkan di dalam thabaqat Al-Qurra’. Sahabat yang terkenal sebagai guru & ahli qira’at ada 7 orang, yaitu: Utsman, Ali, Ubay, Zaid bin Tsabit, Abu Ad-Darda’, Abu Musa Al-Asy’ari, & Ibnu Mas’ud. Mayoritas sahabat belajar pada Ubay. Di antaranya: Abu Hurairah, Ibnu Abbas & Abdullah bin As-Sa’ib. Ibnu Abbas juga belajar pada Zaid. Kemudian kepada para sahabat itulah sejumlah besar tabi’in di setiap negeri mempelajari qira’at.
Tujuh Imam Qira'at & Latar Belakangnya
Pada permulaan abad pertama Hijriyah di masa tabi’in, tampillah sejumlah ulama yang konsen terhadap masalah qira’at secara sempurna karena keadaan menuntut demikian, & menjadikannya sebagai suatu disiplin ilmu yang berdiri sendiri sebagaimana mereka lakukan terhadap ilmu-ilmu syariat lainnya, sehingga mereka menjadi imam & ahli qira’at yang diikuti & dipercaya. Bahkan dari generasi ini & generasi sesudahnya terdapat 7 orang yang terkenal sebagai imam yang kemudian kepada merekalah qira’at dinisbatkan hingga sekarang ini.
Para ahli qira’at yang ada di Madinah ialah; Abu Ja’far Yazid bin Al-Qa’qa’ & Nafi bin Abdirrahman. Di Makkah; Abdullah bin Katsir & Humaid bin Qais Al-A’raj. Di Kuffah; Ashim bin Abi An-Najud, Sulaiman Al-A’masy, Hamzah, & Al-Kisa’i. Di Bashrah; Abdullah bin Abi Ishaq, Isa bin Amr, Abu Amru Ala’, Ashim Al-Jahdari, & Ya’qub Al-Hadhrami. Di Syam; Abdullah bin Amir, Ismail bin Abdillah bin Muhajir, Yahya bin Harits, & Syuraih bin Yazid.
Ada 7 Imam qira’at yang disepakati, yaitu: Abu Amr, Nafi’, Ashim, Hamzah, Al-Kisa’i, Ibnu Amir, & Ibnu Katsir. Tetapi di samping itu para ulama memilih pula 3 orang imam qira’at yang qira’atnya dipandang shahih & mutawatir. Mereka adalah Abu Ja’far Yazid bin Al-Qa’qa’ Al-Madani, Ya’qub bin Ishaq Al-Hadhrami & Khalaf bin Hisyam. Mereka itulah yang terkenal sebagai imam qira’at asyrah (qira’at sepuluh) yang diakui. Qira’at di luar yang sepuluh itu dipandang sebagai qira’at yang syadz (cacat), seperti qiraat Al-Yazidi, Al-Hasan, Al-A’masy, Ibnu Az-Zubair, dll. Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada satu pun dari qira’at sepuluh bah kan qira’at tujuh yang masyhur itu terlepas dari syadz, sebab di dalam sepuluh qira’at tersebut masih terdapat syadz sekalipun hanya sedikit. Pemilihan qurra’ yang tujuh itu dilakukan oleh para ulama pada abad ketiga Hijrah. Bila tidak demikian, maka sebenarnya para imam yang dapat dipertanggungjawabkan ilmunya itu cukup banyak jumlahnya
Macam-macam Qira'at, Hukum, & Kaidahnya
Sebagian ulama menyebutkan bahwa qira’at itu ada yang mutawwatir, ahad, & syadz. Menurut mereka, qira’at yang mutawwatir adalah qira’at yang 7. Qira’at yang ahad adalah 3 qira’at pelengkap menjadi 10 qira’at, ditambah qira’at para sahabat. Menurut para ulama, syarat-syarat qira’at yang shahih adalah sebagai berikut:
Kesesuaian qira’at tersebut dengan kaidah bahasa arab sekalipun dalam satu segi, baik fasih maupun lebih fasih. Sebab qira’at adalah sunnah yang harus diikuti, diterima apa adanya dan menjadi rujukan dengan berdasarkan pada isnad, bukan pada rasio.
Qira’at sesuai dengan salah satu mushaf utsmani, meskipun hanya mendekati saja. Sebab dalam penulisan mushaf-mushaf itu para sahabat telah besungguh-sungguh dalam membuat rasm yang sesuai dengan bermacam-macam dialek qira’at yang mereka ketahui.
Qira’at itu isnadnya harus shahih, sebab qira’at merupakan sunnah yang diikuti yang didasarkan pada penukilan & keshahihan riwayat. Seringkali ahli bahasa Arab mengingkari sesuatu qira’at hanya karena qira’at itu dianggap menyimpang dari aturan atau lemah menurut kaidah bahasa, namun para imam qira’at bertanggung jawab atas pengingkaran mereka itu.
Sebagian ulama menyimpulkan macam-macam qira’at menjadi 6 macam:
Mutawwatir, yaitu qira’at yang dinukil oleh sejumlah besar perawi yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, sanadnya bersambung hingga penghabisannya, yakni Rasulullah. Inilah yang umum dalam qira’at.
Masyhur, yaitu qira’at yang sanadnya shahih, tetapi tidak mencapai derajat mutawwatir, sesuai dengan kaidah bahasa Arab, rasm Utsmani & juga terkenal di kalangan para ahli qira’at sehingga tidak dikategorikan qira’at yang syadz atau salah. Para ulama menyebutkan qira’at ini termasuk qira’at yang dapat dipakai dan digunakan.
Ahad, yaitu qira’at yang sanadnya shahih, tetapi menyalahi rasm Utsmani, menyalahi kaidah bahasa Arab atau tidak terkenal seperti halnya qira’at masyhur yang telah disebutkan. Qira’at ini tidak dapat diamalkan bacaannya.

Syadz, yaitu qira’at yang tidak shahih sanadnya.
Maudhu, yaitu qira’at yang tidak ada asalnya.
Mudarraj, yaitu yang ditambahkan ke dalam qira’at sebagai penafsiran.
Keempat macam qira’at yang terakhir tidak boleh diamalkan bacaannya. Menurut jumhur ulama, qira’at yang tujuh itu mutawwatir. Dan yang tidak mutawwatir , seperti masyhur , tidak boleh dibaca di dalam maupun di luar shalat.
Faedah Keberagaman dalam Qira'at yang Shahih
Keberagaman qira’at yang shahih ini mengandung banyak faedah & fungsi, di antaranya:
Menunjukkan betapa terjaganya & terpeliharanya Kitab Allah dari perubahan & penyimpangan padahal Kitab ini mempunyai sekian banyak segi bacaan yang berbeda-beda.
Meringankan umat Islam dan memudahkan mereka untuk membaca Al-Qur’an.
Bukti dari kemukjizatan Al-Qur’an dari segi kepadatan makna (ijaznya), karena setiap qira’at menujukkan sesuatu hukum syariat tertentu tanpa perlu pengulangan makna.
Penjelasan terhadap apa yang mungkin masih global dalam qira’at lain.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar